Hukum Franchise
Mohon dijelaskan hukum franchise…
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Untuk memahami transaksi franchise, terlebih dahulu kita akan memahami tawabi’ al-Aqd. Tawabi’ al-Aqd adalah akad kedua yang mengikuti akad pertama, karena akad kedua merupakan konsekuensinya.
Sebagai contoh orang yang membeli tanah di dalam, dia harus membeli jalan untuk akses menuju tanah itu.
Terdapat kaidah mengatakan,
التابع تابع
“Yang menjadi pengikut, hanya bisa mengikuti.”
Syaikh Dr. Muhammad Sidqi al-Burnu menjelaskan kaidah ini,
إن ما كان تابعاً لغيره في الوجود لا ينفرد بالحكم، بل يدخل في الحكم مع متبوعه والمراد بالتابع هنا: ما لا يوجد مستقلا بنفسه، بل وجوده تابع لوجود غيره، فهذا لا ينفك حكمه عن حكم متبوعه
Sesuatu yang keberadaannya mengikuti lainnya, hukumnya tidak disendirikan, namun hukumnya mengikuti hukum yang diikuti (yang utama). Yang dimaksud tabi’ (yang mengikuti) di sini adalah sesuatu yang tidak bisa berdiri sendiri, namun keberadaannya mengikuti keberadaan lainnya (matbu’). Sehingga hukumnya tidak terpisah dari hukum yang diikuti (matbu’).
Kemudian beliau menyebutkan beberapa contohnya,
[1] Orang yang menjual hewan betina yang hamil, maka janin yang ada dalam kandungannya harus diikutkan dalam transaksi, karena dia mengikuti induknya. Dan tidak boleh dijual secara terpisah.
[2] Jalan yang menjadi akses untuk masuk ke sebuah tanah, diikutkan dalam transaksi jual beli tanah, dan hukumnya tidak disendirikan.
Kemudian Syaikh Dr. al-Burnu menyimpulkan,
فعلى هذا كل ما جرى في العرف على أنه من مشتملات المبيع في البيع من غير ذكر
Kaidah ini berlaku untuk semua benda yang secara urf (tradisi) menjadi bagian dari objek transaksi untuk diikutkan dalam jual beli, meskipun tidak disebutkan. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 331).
Mengenal Franchise
Ada banyak model transaksi franchise yang dijalankan di masyarakat. Dan tentu saja, kami tidak mungkin merinci semuanya. Karena itu, pada kesempatan ini, kami hanya akan mengupas model franchise secara umum.
[1] Pelaku akad franchise
Ada dua pihak yang terlibat,
– Franchisor: penjual dan pemilik royalty franchise
– Franchisee: pembeli merk dan semua turunanya dalam franchise
[2] Objek akad franchise
Kita ambil contoh, franchise ayam bakar Mukidi. Apa saja yang menjadi objek akad,
(a) Brand – termasuk di dalamnya adalah peluang pasar yang melekat dengannya, karena merk sudah dikenal masyarakat.
(b) Sistem – termasuk di dalamnya adalah managemen dan SOP kelola perusahaan.
(c) Bahan baku – seperti bumbu, pilihan jenis bahan yang dibutuhkan untuk produksi ayam bakar Mukidi sesuai standar.
Objek franchise ada 2:
Fokuskan di bagian objek akad franchise,
Dari semua objek franchise di atas, bisa kita bagi menjadi 2:
[1] Objek utama – objek yang menjadi tujuan utama franchise
[2] Objek yang mengikuti (tabi’) – objek transaksi yang harus diikutkan, ketika ada objek utama karena ini merupakan pelengkap dari akad pertama.
Dalam transaksi franchise, yang menjadi objek utama transaksi adalah brand. Diantara indikasinya,
[a] Brand merupakan sebab adanya royalty. Dan bagian ini yang menjadi tujuan akad.
[b] Brand merupakan pembeda antara satu produk dengan produk yang lain. Di bawah brand, ada peluang pasar, ada sistem, managemen, SOP, hingga bahan baku. Agar produk yang dijual memenuhi standar kualitasnya.
Karena itu, ketika brand ditransaksikan, maka semua yang mengikuti brand juga harus ditransaksikan. Karena objek yang lain adalah pelengkap dari brand. Jika tidak diikutkan, bisa merusak standar kualitas produk yang dimaksud.
Jenis Akad dalam Franchise
Brand menjadi hak paten yang melekat pada diri pemilik. Sehingga brand tidak dijual atau dipindahkan kepemilikannya kepada Franchisee (pembeli waralaba). Namun brand hanya bisa dipindahkan hak gunanya. Franchisee berhak menggunakan brand tersebut sesuai kesepakatan.
Sementara pelengkap brand, sistem, managemen, dan bahan baku, bisa disewakan dan bisa dijual belikan. Yang habis pakai, seperti bahan baku, bisa diperjual belikan, karena tidak mungkin disewakan.
Karena itu, ada 3 kemungkinan akad yang bisa dilakukan dalam franchise,
[1] Akad musyarakah – pemilik brand (Franchisor) tidak menyewakan brand-nya, tapi menjadikan brand sebagai bagian dari keterlibatan modal. Dari akad ini, Franchisor berhak mendapatkan bagi hasil sesuai kesepakatan.
[2] Akad ijarah (sewa) – Franchisor menyewakan sistem, managemen, SOP dan semua turunannya dan Franchisee berhak menggunakan itu semua selama rentang waktu sesuai kesepakatan.
[3] Jual beli – Franchisor menjual bahan baku yang habis pakai kepada Franchisee.
Akad utama dari 3 akad di atas adalah akad musyarakah brand. Sementara akad kedua dan ketiga merupakan pelengkapnya.
Jika franchise ayam bakar Mukidi dihargai 5jt selama 5th, dengan biaya royalty 5% dari omzet, dan nilai bahan baku sesuai stok yang dibutuhkan,
[1] Nilai 5 juta adalah nilai sewa sistem, managemen, SOP dan semua turunannya selama 5 tahun.
[2] Nilai 5% adalah bagi hasil atas penggunaan brand ayam bakar Mukidi
[3] Biaya bahan baku – hasil dari akad jual beli.
Dan bentuk akad semacam ini dibolehkan, mengingat tidak ada pelanggaran terhadap aturan syariat.
Sementara adanya ketentuan lain yang menguntungkan sepihak, seperti pihak Franchisee tidak boleh menjual produk selain produk Pihak Franchisor, atau pihak Franchisee hanya dibenarkan menjual produk di area tertentu, ketentuan ini dibolehkan. Karena hukum asal setiap kesepakatan dibolehkan, selama tidak melanggar syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Setiap muslim harus mengikuti setiap kesepakatan diantara mereka.” (HR. Abu Daud 3596 dan yang lainnya – dishahihkan al-Albani)
Demikian…
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/31483-hukum-franchise.html